Sebagian besar masyarakat kita masih beranggapan bahwa amanah atau
kepercayaan dalam bentuk jabatan dipandang sebagai anugerah.
Konsekuensinya adalah kerap kali ketika memperoleh jabatan, banyak orang
yang melaksanakan upacara syukuran. Bahkan dalam tingkat tertentu,
acara tersebut dilakukan secara berlebihan (mubazir). Tidak ada maksud
untuk menyatakan syukuran itu salah. Hanya saja fenomena itu dapat
dijadikan bukti bahwa amanah sering diidentikkan dengan anugerah.
Sampai
di sini menjadi menarik jika dianalisis dari sudut semantik.
Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti salah satu makna amanah adalah
pembebabanan yang meniscayakan tanggungjawab. Jika penerimaan amanah
disikapi dengan syukuran sama artinya ketika mendapatkan pembebanan yang
umumnya berat manusia malah bersyukur. Bagi sebagian orang amanah
memang nikmat (anugerah).
Melalui
jabatan yang diembannya ia akan memperoleh banyak manfa’at dan
fasilitas. Bukankah wajar jika ia menggelar acara syukuran? bukankah
biaya yang dikeluarkan akan kembali secara berlipat? Dari hal itu,
penulis ingin mengajak kita untuk melihat hakikat makna amanah di dalam
Al-Quran.
A. PENGERTIAN AMANAH
Amânah berasal dari kata
a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat
dipercaya. Kata kerja ini berakar dari huruf hamzah, mim dan nun yang
makna pokoknya adalah aman, tenteram dan hilangnya rasa takut. Secara
bahasa, amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau
kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadî‘ah). Amanah adalah
lawan dari khianat. Amanah terjadi di atas ketaatan, ibadah, al-wadî’ah
(titipan), dan ats-tsiqah (kepercayaan).
Al-Isfahani memaknai amanah
dengan ketenteraman jiwa (tu’maninatun al-nafs). Farid Wajdi
menterjemahkan amanah dengan sukun al-qalb (ketenteraman hati). Lawan
dari kata amanah adalah khianat. Dari akar kata ini juga terbentuk kata
iman dan amin.
Orang yang beriman dipastikan akan memperoleh rasa
aman dan tenteram. karena ia akan merasa mendapatkan penjagaan dari
Allah Swt. Sebaliknya orang yang diselimuti dengan berbagai macam
kegelisahan dan ketakutan, dipastikan sedang mengalami krisis iman.
B. AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG AMANAH
1. Surat Al-ahzab ayat 72
(الأحزاب : 72)
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.”
Ada berbagai
pendapat mengenai makna amanah dalam ayat ini. Al-Qurthubi menyatakan,
amanah bersifat umum mencakup seluruh tugas-tugas keagamaan. Ini adalah
pendapat jumhur. Asy-Syaukani menukil pendapat al-Wahidi, bahwa amanah
di sini menurut pendapat seluruh ahli tafsir adalah ketaatan dan
kewajiban-kewajiban yang penunaiannya dikaitkan dengan pahala dan
pengabaiannya dikaitkan dengan siksa. Ibn Mas‘ud berkata, bahwa amanah
di sini adalah seluruh kewajiban dan yang paling berat adalah amanah
harta. Sedangkan Ubay bin Ka‘ab berpendapat bahwa di antara amanah
adalah dipercayakannya kepada seorang wanita atas kehormatannya.
Mujahid
berpendapat, amanah dalam ayat ini adalah kewajiban-kewajiban dan
keputusan-keputusan agama. Sedangkan Abu al-’Aliyyah berpendapat, amanah
adalah apa-apa yang diperintahkan-Nya dan apa-apa yang dilarang-Nya.
Seluruh
pendapat tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa amanah dalam ayat
tersebut adalah seluruh apa yang dipercayakan Allah kepada manusia
mencakup seluruh perintah dan larangan-Nya, juga seluruh karunia yang
diberikan kepada manusia.
2. Surat An-nisa’ ayat 58
Menunaikan
amanah adalah wajib hukumnya. Amanah wajib disampaikan kepada yang
berhak menerimanya. Alloh SWT berfirman dalam surat An-nisa’ ayat 58;
•
•• •
• (النساء :
58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Ayat diatas
menjelaskan bahwa amanat yaitu; segala sesuatu yang dipercayakan kepada
manusia dan diperintahkan untuk dikerjakan. Dalam ayat ini Allah
memerintahkan hambanya untuk menyampaikan amanat secara sempurna, utuh
tanpa mengulur-ulur/menunda-nundanya kepada yang berhak. Amanat itu
mencakup perwalian, harta benda, rahasia, dan perintah yang hanya
diketahui oleh Allah.
Pada ayat lain yaitu Qs. al-Mu’minun ayat 8 dan Qs. al-Ma‘arij ayat 70, Alloh berfirman:
(المؤمنون : 8)
Artinya:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al-Mu’minun: 8)
Dari
ayat-ayat diatas, terlihat adanya indikasi (qarînah) bahwa menunaikan
amanah merupakan salah satu sifat orang Mukmin. Hal itu menunjukkan
perintah menunaikan amanah tersebut bersifat tegas (jâzim) dan oleh
karenanya menunaikan amanah adalah wajib. Sebaliknya, larangan
mengkhianati amanah merupakan larangan yang bersifat tegas sehingga
hukumnya haram.
C. HAKIKAT MAKNA AMANAH DAN IMPLEMENTASINYA
Merujuk
kepada ayat-ayat Al-Quran diatas, menurut pandangan penulis pada
hakikatnya kata amanah mengandung makna sebagai berikut:
1. Amanah dalam arti tanggungjawab personal manusia kepada Alloh
Alasan
penolakan alam (bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah (QS.
Al-Ahzab: 72) adalah karena mereka tidak memiliki potensi kebebasan
seperti manusia. Padahal untuk menjalankan amanah diperlukan kebebasan
yang diiringi dengan tanggung jawab. Oleh sebab itu, apapun yang
dilakukan bumi, langit, gunung terhadap manusia, walaupun sampai
menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja "benda-benda alam"
itu tidak dapat diminta pertanggungjawabannya oleh Allah. Berbeda dengan
manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggungjawaban.
Manusia
adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia memiliki beban
(tugas) untuk memakmurkan bumi (wasta’marakum alardh). Sebuah tugas yang
maha berat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam
menjalankannya.
Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan
ibadah. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup
tidak sekedar menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman.
Hidup sesungguhnya adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan.
Jadi
perbedaan manusia dari makhluk lain adalah karena manusia telah diberi
potensi kebebasan dan akal, sehingga dengan potensi itu manusia mampu
mengenal Rabbnya sendiri, mampu menemukan petunjuk sendiri, beramal
sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri. Semua yang dilakukan manusia
adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan semua potensi dalam
dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari pilihannya itu, dan
balasan untuknya sesuai dengan amalnya.
2. Amanah dalam arti tanggung jawab sosial manusia kepada sesama
Dalam
pandangan Islam setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi
dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun yang lainnya. Sebab,
manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai tanggung jawab sosial pula.
Tentu saja semua itu akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah SAW
bersabda:
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
Artinya:
''Ketahuilah,
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.'' (H.R. Muslim).
Fenomena
yang terjadi saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah
komoditi untuk meraih kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini
banyak sekali orang yang meminta amanah kepemimpinan dan jabatan,
padahal belum tentu orang tersebut mempunyai kapabilitas untuk
menjalankan amanah itu. Rasulullah mengancam akan hancurnya sebuah
bangsa.
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر
الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر
إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah
disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk
penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada
orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R.
Bukhari).
Amanah menempati posisi 'strategis' dalam syariat
Islam. Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin (yang bisa
dipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum
munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda
munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia
ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat". (Hadist
Sohih).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah
memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah
(kepercayaan) dalam hadits yang artinya:
Barangsiapa yang mengangkat
seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan
dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli
daripadanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan
terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim)
Dengan
demikian, meminta jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan
yang dicela. Amanah akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa
tidak, jika seorang yang mendapat amanah tidak menjalankan dengan baik,
mengingkari janjinya dan menipu saudaranya maka ia diharamkan masuk
surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang menghianati dan menyelewengkan
amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan ancaman berat.
Pertanyaannya, Mengapa harus menjaga amanah?
Pertanyaan
di atas adalah pertanyaan yang di tujukan untuk diri kita
masing-masing, dan tentu saja jawabannya sangat bervariatif. Menurut
pengalaman penulis, ada beberapa alasan mengapa seseorang harus menjaga
amanah di antaranya adalah karena amanah adalah sesuatu yang sebenarnya
sudah melekat dalam fithrah manusia. Dengan demikian sebenarnya sifat
amanah adalah sifat yang sudah melekat dalam diri manusia sejak manusia
dilahirkan. Hal tersebut sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat
172:
•
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah
aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami
menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Pada hakikatnya, jiwa
dan diri kita, sejak dari awal kodratnya, telah dikondisikan untuk
beragama tauhid. Dari sinilah lahir konsep dan keyakinan bahwa setiap
bayi yang lahir, dilahirkan dalam keadaan fitrah. Karena setiap anak
terlahir dalam keadaan suci maka dia bersifat hanif, artinya selalu
cenderung kepada kesucian dan kebaikan. Dia dilengkapi hati nurani
sebagai pusat kedirian kita. Artinya bahwa nilai nilai kesucian (fitrah)
yang sebenarnya merupakan nilai-nilai ilahiah itu sudah melekat atau
(built in) dalam diri kita sejak dahulu sebelum kita dilahirkan.
Akan
tetapi kenyataannya, karena beberapa hal yang di alami oleh manusia,
sikap amanah itu menjadi hilang dan terabaikan. Contohnya adalah ketika
manusia dalam keadaan tertekan dalam hal ekonomi, manusia bisa melakukan
sesuatu yang bisa melanggar amanah yang ada padanya. Karena tergoda
oleh sesuatu, manusiapun bisa kehilangan kontrol, sehingga fitrah amanah
itu menjadi hilang.
0
komentar: